Rabu, 21 November 2007

PENCIPTAAN:
Doktrin kreasi dan teori evolusi

Pengantar
Salah satu topik yang hangat diperdebatkan pada zaman modern ini ialah pertanyaan bagaimana kehidupan ada di atas dunia ini. Ada dua pilihan dasar: (1) melalui proses yang lambat dan alamiah (teori evolusi) atau (2) melalui perintah Penciptaan versi Alkitab (doktrin penciptaan). Pertanyaan utamanya: berapa lama kehidupan ada di atas planet ini dan siapakah penyebab utamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengajak kita untuk memahami sejauhmana paradigma iptek modern berhadapan dengan paradigma teologi. Bagaimanakah sepatutnya kita menilai dan menempatkan teori evolusi ilmiah ketika diperhadapkan dengan doktrin penciptaan alkitabiah? Kertas kerja ini menguraikan persoalan tersebut dan menjelaskan sikap yang perlu dikembangkan berkaitan dengan pokok bahasan tentang relasi teologi dan iptek.

Revolusi Pengetahuan
Sampai pada abad ke-16 M. garis-garis besar gambaran alkitabiah atau teori kreasi versi alkitab tentang dunia ini masih dianggap memuaskan oleh orang-orang Kristen di dunia Barat. Selama itu yang berlaku adalah pemahaman Ptolemaius (sentralitas dan immobilitas bumi) dan dalam perkembangannya yang kemudian mendapat pengaruh dari filsafat Aristoteles dan gambaran dunia alkitabiah (Kejadian 1). Kombinasi pemahaman Ptolemaistik-Aristotelian-alkitabiah mendapat goncangan setelah munculnya karya Copernicus, De Revolutionibus Orbium Caelestium (1543). Copernicus mengemukakan bahwa sebenarnya bumilah yang beredar mengelilingi matahari sebagai pusat. Pandangan Copernicus ini merupakan dugaan yang timbul dari ketidakpuasan dalam menghitung peredaran planit-planit secara matematis1.
Goncangan berikutnya, yang jauh lebih hebat daripada goncangan pertama, diakibatkan oleh Charles Darwin. Sampai pada bagian pertama abad ke-19 orang-orang Kristen di Barat menerima teori bahwa jenis-jenis (spesies) yang sepasang-sepasang berasal langsung dari sang Pencipta. Teori ini menjelaskan kekhasan setiap jenis dalam tata tertib yang diciptakan ini dan bersesuai dengan apa yang dikemukakan oleh kitab Kejadian. Sebelum Darwin sudah ada beberapa orang yang mulai meragukan teori ini, yang disebabkan oleh penemuan fosil-fosil dan penyelidikan tentang umur bumi. Berkat usaha Lyell, orang mengetahui bahwa umur bumi sebenarnya jauh lebih tua daripada apa yang selama ini dipercaya secara teologis, bahwa penciptaan terjadi pada 4000 sM. Dalam jangka waktu yang lama terjadilah perkembangan yang menuju pada keadaan bumi seperti pada waktu sekarang ini. Teori evolusi tentang umur bumi mengakibatkan perubahan pandangan di bidang-bidang lain, seperti sastra, filsafat dan biologi2.
Tidak hanya Lyell, seorang sarjana Perancis J.B. de Lamarck merupakan orang pertama yang secara tegas menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari tumbuh-tumbuhan menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia. Namun pandangannya pada waktu itu belum mendapat banyak perhatian. Pandangan radikal tentang teori evolusi mencuat lewat karya Charles Darwin (1809-1882) dalam bukunya Origin of Species (1859) yang memberikan banyak sekali bukti-bukti tentang kebenaran teori evolusi dan memperkenalkan prinsip seleksi alam (natural selection) dalam biologi. Darwin sendiri tidak secara khusus menolak adanya Pencipta ketika memperkembangkan teori evolusinya (natural selection).3

Teori Evolusi
Darwin adalah ahli zoologi, yang menelaah pengalaman dari pemelihara-pemelihara burung merpati di Inggris. Ternyata dengan cara pemeliharaan yang berencana dan tekun mereka berhasil memperoleh burung merpati yang jenisnya amat berbeda dari jenis semula. Darwin mengambil kesimpulan bahwa apa yang dapat dicapai manusia dengan cara berencana, dapat pula tercapai oleh alam sendiri dengan cara seleksi alam. Darwin berpandangan bahwa dalam perjuangan hidup (struggle of life) hanya hewan paling ulet yang paling mampu menyesuaikan diri dengan keadaan iklim dan suasana sekitarnya. Merekalah yang berhasil mempertahankan kelangsungan hidupnya (survive). Hewan itu cukup punya kelincahan dan keluwesan untuk berubah sedikit (secara biologis) jika iklim dan kekerasan hidup menuntutnya. Turunan dari hewan yang biologis kuat ini terus menerus mengalami perubahan sedikit. Perubahan-perubahan yang berlangsung selama jutaan tahun itu akhirnya mengakibatkan timbulnya berbagai jenis binatang yang masing-masing sangat berbeda dengan variasi yang berlipat ganda. Darwin merumuskan pengalaman-pengalaman dan kesimpulan-kesimpulan di atas, dalam suatu pokok pandangan bahwa: semua jenis binatang berasal dari satu sel purba4. Selanjutnya, Darwin mempertajam pandangannya lewat buku keduanya yang menghebohkan dunia, dengan judul ”The Descent of Man” (Asal Usul Manusia) yang terbit tahun 1871. Dalam bukunya ini, Darwin menerapkan teorinya dalam perkembangan binatang-binatang menuju manusia. Binatang yang paling maju, yaitu kera, dengan mengalami proses perjuangan hidup, sedikit demi sedikit berubah dan dalam jenisnya yang paling sempurna, mengarah menuju wujud kemanusiaan. Binatang menjadi manusia5.
Penemuan fossil Manusia Neanderthal (1856) memperkuat pandangan Darwin. Fossil Manusia Neanderthal adalah tengkorak semacam manusia yang diperkirakan pernah hidup kira-kira 100.000 tahun yang lalu, yang ditemukan di diperkirakan pernah hidup kira-kira 100.000 tahun yang lalu, yang ditemukan disebuah lembah dekat Dusseldorf, Jerman Barat. Yang menyolok pada tengkorak itu adalah bentuk dahi yang rendah, menjorok mundur dengan lengkungan besar di atas mata, serta tanpa dagu. Manusia Neanderthal menyerupai baik kera maupun manusia, tetapi tetap harus ditafsirkan sebagai manusia yang berdiri tegak. Dekat tengkorak itu ditemukan pula perkakas-perkakas kerja yang primitif.
Teori Darwin ini dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sarjana ilmu pengetahuan alam dari Jerman, yakni Ernst Heinrich Haeckel (1834-1919). Berbeda dengan Darwin yang berpandangan bahwa sel-sel purba diciptakan oleh Tuhan, Haeckel menolak teori kreasi sama sekali. Dunia ini menurut Haeckel adalah kekal, tak ada permulaan, dan hidup tercipta dengan sendirinya secara mekanis. Demikian juga halnya dengan manusia. Atas pengaruh Haeckel timbullah kebiasaan untuk menyamaratakan manusia dengan kera, melalui ungkapan dangkal ”manusia berasal dari kera”6.

Tantangan terhadap Kekristenan
Pandangan Darwin langsung menantang keyakinan Kristen tradisional. Pertama, tantangan untuk pembacaan harfiah Alkitab: proses evolusi yang lambat dan gradual tidak dapat didamaikan dengan kisah penciptaan ilahi dalam tujuh hari (Kejadian 1). Kedua, tantangan langsung terhadap martabat manusia: secara tradisional kekristenan memandang manusia berbeda dengan makhluk lain secara fundamental karena jiwa mereka abadi, karena mereka diciptakan ”dalam citra Allah” dan karena perbedaaan rasionalitas manusia yang unik. Ketiga, tantangan terhadap desain dan tujuan ilahi: Darwin berhasil menunjukkan bahwa adaptasi dapat dijelaskan dengan proses variasi dan seleksi alam yang berjalan tanpa sosok tertentu. Keempat, tantangan terhadap gagasan Kristen tentang Allah: teori evolusi melalui seleksi alam akan memusnahkan setiap pembedaan sederhana dan mudah tentang apa itu ”natural” dan ”apa itu super natural”7.
Kaum fundamentalis Kristen berdiri pada barisan terdepan menolak teori evolusi Darwin. Mereka berpendapat bahwa (1) Alkitab bukanlah buku teks ilmiah dan tujuannya bukan untuk memperlihatkan kebenaran-kebenaran ilmiah, melainkan menyatakan kehendak dan maksud Allah bagi manusia; (2) bumi berumur 6000 tahun; (3) Kejadian 1 adalah karya sastra yang agung dimana ilmu pengetahuan tidak dapat menumbangkannya; (4) teori evolusi tidak membuktikan apapun terhadap kebenaran-kebenaran Alkitab8.

Doktrin Penciptaan
Doktrin penciptaan tidak boleh dikacaukan atau disamakan dengan teori ilmiah tentang asal usul. Maksud doktrin ini bersifat etis dan keagamaan, bertentangan dengan sifat penelitian ilmiah. Doktrin penciptaan tidak hanya dicatat dalam pasal 1 kitab Kejadian tetapi dapat dibaca juga dalam kitab nabi Yesaya 40:26, 28; 42:5; 45:18; Yeremia 10:12-16; Amos 4:13; Mazmur 33:6,9; 90:2; 102:25; Ayub 38:4; Nehemia 9:6; Yohanes 1:1; Kisah Para Rasul 17:24; Roma 1:24-25; 11:36; Kolose 1:16; Ibrani 1:2; 11:3; dan Wahyu 4:11; 10:69.
Doktrin penciptaan merupakan pernyataan iman orang percaya bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya seperti yang dikatakan surat Ibrani 11:3, ”Karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah.” Ini berarti, bahwa ajaran Alkitab tentang penciptaan didasarkan atas penyataan atau wahyu ilahi, dan dapat dimengerti hanya berdasarkan iman. Inilah yang membedakan secara tajam pendekatan Alkitab dengan pendekatan ilmiah. Jadi Kejadian 1 tidak dapat dijadikan referensi ilmiah tentang bagaimana dunia dijadikan, melainkan untuk menunjuk bahwa Tuhan adalah Pencipta dan mengajak orang beriman untuk mempercayakan hidupnya kepada Tuhan Allah10.
Doktrin Penciptaan alkitabiah menyebutkan bahwa Allah menciptakan dengan firmanNya. Penelitian lengkap menyimpulkan bahwa terdapat variasi menyangkut kisah Penciptaan, yakni: (1) penciptaan melalui tindakan; (2) penciptaan melalui generasi dan kelahiran; (3) penciptaan melalui konflik; dan (4) penciptaan melalui fiman. Jelas bahwa kisah penciptaan melalui Firman hanyalah salah satu dari beragam kisah penciptaan tentang alam semesta dan manusia11.
Kisah penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:3 dapat dikategorikan bercorak puisi yang ditulis pengarang (yang diasumsikan sebagai Musa) yang diilhami Roh Allah dengan tujuan menyatakan bahwa Allah sebagai Pencipta yang Mahakasih.12 Penting untuk diperhatikan bahwa peran Allah sebagai Pencipta tidak dapat dipisahkan dari perjanjianNya dan penebusanNya. Karena itu dapat dikatakan bahwa Allah tidak hanya berhenti mencipta pada peristiwa tertentu tetapi tetap mencipta secara berkelanjutan (creatio continua) dimana Allah bertanggungjawab memelihara dan menopang ciptaanNya sampai sekarang13. Jelas doktrin Penciptaan menolak paham bahwa Allah tidak lagi berhubungan sama sekali dengan ciptaanNya (deisme) dan paham bahwa Allah dapat disamakan dengan ciptaan (panteisme)14.
Penggunaan kata kerja Ibrani bara (mencipta) dalam kitab kejadian 1 mengandung makna bahwa tak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa disamakan dengan Allah, dan bahwa dunia inipun sama sekali bukan musuh Allah. Dunia dan segala isinya, termasuk manusia adalah bagian dari ciptaan Allah.15 Riwayat penciptaan dimana Allah mencipta dalam 6 hari tidak dimaksudkan secara kronologis, tetapi hanya untuk meneguhkan kenyataan bahwa Allah saja yang menjadikan segala sesuatu. Sekalipun manusia sangat berdekatan dengan alam binatang, namun perbedaan utamanya bahwa manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupaNya. (Kej 1: 27). Manusia adalah tiruan Allah seperti aslinya16.
Tanggapan
Teori evolusi Darwin telah mengakibatkan tantangan serius bagi kekristenan. Penelitian historis membuktikan bahwa relasi sains dengan teologi sepanjang abad ke-19 dan ke-20 bukan hanya berupa ”peperangan” atau konflik. Claude Welch, seorang sejarawan dan teolog menyebutkan tiga jenis respons terhadap sains, yaitu: (1) oposisi; (2) mediasi yang dilakukan dengan hati-hati atau akomodasi; dan (3) pengagungan evolusi atau asimilasi17.
Saya berpendapat bahwa teori evolusi tidak serta merta mengganggu kehidupan beriman kita. Hasil penelitian ilmiah, termasuk teori evolusi selain memperluas wawasan kita, juga dapat menambah keyakinan kita tentang Allah dan perbuatanNya dan sekaligus menolong kita dalam memperjelas penafsiran Alkitab dalam studi teologi (misalnya, bumi yang berputar mengelilingi matahari), Jadi Alkitab dan ilmu pengetahuan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi kita tentang karya Allah dalam dunia ini.18
Tentunya bukan berarti teori evolusi dianggap sebagai metode Allah menciptakan segala sesuatu dan menggantikan doktrin penciptaan alkitabiah. Sebab jika demikian maka kita menolak fakta iman bahwa Allah tetap mencipta, memelihara dan menopang ciptaanNya sampai sekarang, serta membenarkan teori seleksi alam bahwa yang kuatlah yang dapat hidup. Punahnya spesies-spesies tertentu, seperti dinosaurus dan ditemukannya fosil manusia purba sebagaimana laporan penelitian ilmiah mutakhir, bukan berarti kekristenan (agama) harus menutup diri, melainkan melakukan pembacaan ulang (reinterpretasi) Alkitab secara kritis dalam rangka memuliakan Allah. Pembacaan ulang Alkitab secara kritis justru membangun kehidupan iman yang relevan dengan konteks19. Selain itu, dialog lintas ilmu dapat memberi gambaran lengkap bagi penafsiran teologi kita.
Jika teori evolusi berkesimpulan bahwa manusia adalah turunan monyet, maka saya berpendapat hasil kesimpulan ilmiah ini tidak dapat diaminkan 100 % keakuratannya, terlebih lagi bagi kehidupan beriman kita. Para peneliti ilmiah hanya dapat merekonstruksi hasil temuannya dari kehidupan yang sudah punah (fossil) dan tidak dapat memastikan dengan tepat bahwa sejatinya manusia adalah keturunan monyet. Kita dapat menolak teori ini karena berlawanan dengan keyakinan iman kita, sebab manusia adalah ciptaan Allah yang dimahkotai dengan kemuliaanNya (Mzm 8:1-10).
Penolakan ini merupakan sikap kristis dengan tetap terbuka dalam memandang kebenaran-kebenaran Alkitab dan pengetahuan ilmiah sebagai yang saling melengkapi (komplementer). Keduanya tidak perlu dipertentangkan dan tidak juga harus dipisahkan secara tajam. Sekalipun keduanya berbeda dalam penjelasan, berbeda dalam metodologi dan berbeda dalam tujuannya, tetapi keduanya dapat saling melengkapi.
Tidak pada tempatnya lagi untuk mengutuk hasil penelitian ilmiah sebagai sesat, karena Alkitab adalah pernyataan iman dalam bahasa religius20 dan bukan buka pegangan bagi ilmu pengetahuan (handbook of science)21. Tentu diharapkan juga bahwa para ilmuwan menyadari batas-batas keilmuannya, sehingga tidak mengklaim bahwa dunia ini tidak diciptakan Allah. Superioritas ilmu pengetahuan tidak menjamin bahwa realitas dapat diketahui secara lengkap, termasuk keberadaan dan kehadiran Allah Pencipta, Pemelihara dan Penopang seluruh ciptaan. Akhirnya, keterbukaan dan penghargaan terhadap kebenaran ilmu pengetahuan dalam menyelidiki alam semesta, justru memperbesar penghargaan kita terhadap karya tangan Allah yang kreatif dan mengagumkan.



DAFTAR PUSTAKA

Barr, James. Alkitab di dunia Modern. Jakarta: BPK GunungMulia, 1995.
Clayton, Philip. God and Contemporary Science, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997.
Dahler, Franz dan Chandra, Julius. Asal dan Tujuan Manusia: Teori Evolusi yang Menggemparkan Dunia, cet. ke-10. Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 1991.
Douglas, J.D. et.al. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I: A-L, cet. ke-6, Terj. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2002.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Jeeves, Malcolm A. dan Berry, R.J. Science, Life and Christian Belief: A survey and assessment. Leicester: Apollos, 1998.
Lempp, Walter. Tafsiran Kedjadian 1:1-4:26, Djakarta: BPK, 1964.
Peacocke, A. R. Creation and the World of Science, Bampton lecture series, 1978, Oxford: Oxford University Press, 1979.
Peters, Ted dan Bennet, Gaymon. Menjembatani Sains dan Agama, terj. Jessica Christiana Pattinasarany. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Singgih, Emmanuel Gerrit. Dunia yang Bermakna: Kumpulanan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, Jakarta: Persetia, 1999.
van Huyssteen, J. Wentzel. Duet atau Duel: Teologi dan Sains dalam Dunia Post-Modern, terj. Sudi Ariyanto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Wahono, S. Wismoady. Di sini kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Westermann, Claus. Creation, terj. John. J. Scullion. Philadelphia: Fortress Press, 1974.
Wright, Richard T. Biology through the Eyes of Faith. Leicester: Apollos, 1991.
KEMATIAN:
Perspektif dan sikap teologis

Pendahuluan

“Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” (Ay. 14:14) Pertanyaan Ayub ini menjelaskan kepada kita bahwa kematian merupakan realitas yang pasti dihadapi semua manusia tanpa terkecuali. Kematian memberi kesadaran bagi kita bahwa hidup manusia terbatas. Kematian dapat dialami siapa saja, besar-kecil, tua-muda, tanpa diduga sama sekali dan dapat terjadi lebih awal karena kelaparan, sakit penyakit, perang dan bencana alam. Kematian adalah akhir radikal dari eksistensi manusia1. Secara iman, kematian dipandang sebagai akibat ketidaktaatan terhadap Allah.2
Pertanyaan klasik yang selalu diajukan: bagaimanakah sebenarnya keadaan manusia saat mati? Apakah hanya tubuh manusia yang mati dan jiwa/roh manusia tetap hidup? Apakah tubuh berbeda dengan jiwa/roh saat terjadi kamatian? Apakah jiwa/roh manusia tidak mati (immortal) ? Makalah ini hendak menjelaskan soal kematian dari berbagai sudut pandang, antara lain filsafat (Plato), budaya (Batak), ilmu kedokteran dan agama (Islam dan Kristen). Secara khusus pandangan para teolog Kristen dan kesaksian Alkitab mengenai kematian, diuraikan dengan panjang lebar. Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan refleksi teologis.

1. Konsep kematian menurut filsafat

Dalam sejarah filsafat dualisme antara jiwa dan tubuh dikembangkan oleh Plato (429-347 s.M), seorang murid Socrates dan pendiri gymnasium yang dinamai ”Academi”. Plato menekankan bahwa yang rohani mempunyai prioritas terhadap yang jasmani. Jiwa berlainan dengan tubuh. Jiwa dapat dibagi atas tiga fungsi: epithmia (keinginan), thymos (energik) dan sebagai puncaknya logos (rasional). Sebelum seseorang dilahirkan, ia sudah berada sebagai jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi, di mana ia dapat memandang suatu dunia rohani. Di dunia rohani itu, jiwa menikmati pengetahuan mengenai ide-ide dalam dalam cara hidup kontemplatif. Di dunia rohani, jiwa sejak dahulu sudah ada, dan karena itu jiwa itu baka3. Jiwa hendaknya dipandang bukan seperti ia menampakkan diri dalam kenyataan (bertalian dengan tubuh), melainkan dalam kemurniannya, tanpa dicemarkan oleh tubuh. Dengan demikian kematian dapat dianggap sebagai pengungsian penuh gembira dari tubuh. Bila tubuh musnah, jiwa hidup terus4.
Kelahiran menyebabkan jiwa manusia terkurung dalam tubuh. Tubuh adalah penghalang bagi jiwa yang selalu bergerak. Karenanya manusia harus melepaskan diri dari tubuh dengan cara melayangkan pandangannya pada realitas yang ideal melalui filsafat. Filsafat sebagai latihan dalam melepaskan ikatan-ikatan jiwa dan persiapan akan kematian. Dengan demikian filsafat sebagai hasrat akan kebijaksanaan menjadi juga suatu jalan keselamatan5.

2. Konsep kematian menurut budaya Batak

Secara genealogis-antropologis, suku Batak yang bermukim di bagian utara dan barat laut Pulau Sumatera terdiri dari enam suku, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan suku Mandailing. Kata Batak memiliki pengertian beragam, misalnya: ’penunggang kuda yang lincah’ atau ’kafir’ atau ’budak-budak yang bercap’6. Dalam salah satu mitologi Batak, manusia pertama bernama Tuan Mulana (Yang Awal) yang hidup karena hasil karya Boru Deak Parujar (putri dewa yang berada di bumi) setelah menerima perintah dari Mulajadi Na Bolon (sang Awal yang Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada). Atas ketetapan Mulajadi Na Bolon, maka Boru Deak Parujar menjadi manusia dan istri dari Tuan Mulana. Merekalah yang menjadi nenek moyang orang Batak.7 Mulajadi Na Bolon diyakini sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit dan bumi dan dan singgasananya berada di atas langit ketujuh. Di sana, Mulajadi Na Bolon dikelilingi oleh segala dewa-dewa, raja-raja dan pembesar-pembesar dunia ini8.
Kematian dipercaya sebagai tempat berkumpulnya roh-roh orang yang sudah mati, yang sewaktu-waktu akan datang kembali untuk mengambil sanak keluarga, kenalan, atau orang asing, untuk dibawa ke tempat kumpulan itu. Karenanya, orang Batak berkata: ”Na dialap ompungna do i.” Artinya, ”Dia sudah diambil neneknya”. Hidup di akhirat setelah kematian adalah kelanjutan hidup di dunia ini.9 Saat kematian terjadi, para anggota keluarga duduk berjongkok mengelilingi jenazah dan meratapinya. Ritus ratapan (andung) dilakukan karena mereka merasa segan dan takut terhadap begu (hantu) yang telah mengambil jiwa orang yang ditangisi itu. Karena dia (almarhum) sudah jadi asing dan berada di bawah kekuasaan setan maut. Di sini pentingnya kehadiran tokoh datu (tokoh spirituil adat) untuk menjaga supaya roh orang mati tidak mengikutsertakan jiwa seorang dari orang-orang yang mengantarkannya memasuki liang lahatnya. Hubungan orang mati dan yang hidup tidak berakhir dengan kematian. Roh orang mati masih dapat mengunjungi keluarganya untuk memberi nasihat atau petunjuk. Baru setelah 5 generasi hubungan roh orang mati dan keturunannya putus10.
3. Konsep kematian menurut ilmu kedokteran

Penyebab kematian menurut ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa atau dengan Allah, melainkan diakibatkan tidak berfungsinya organ tertentu dari tubuh manusia. Kematian menurut dokter H. Tabrani Rab dapat disebabkan empat faktor: (1) berhentinya pernafasan, (2) matinya jaringan otak, (3) tidak berdenyutnya jantung serta (4) adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri11. Seseorang dinyatakan mati menurut Dr. Sunatrio bilamana fungsi spontan pernafasan/paru-paru dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak12. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada suatu makhluk. Dalam ilmu kedokteran, jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan. Belum dapat dibuktikan bahwa tubuh dapat dipisahkan dari jiwa dan jiwa itu baka. Manusia dipahami secara holistik atau utuh.13.

4. Konsep kematian menurut agama Islam

Manusia menurut ajaran agama Islam adalah makhluk Tuhan Allah. Manusia berada karena diciptakan oleh Allah. Manusia bukan Allah, bukan keturunan Allah, melainkan makhluk yang harus menghambakan diri kepada Allah14. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh (jasad). Unsur roh atau jiwa dipahami berasal ”dari atas”, sementara unsur tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi15. Roh atau nyawa manusia adalah zat yang halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu16.
Surat Al-Zumar ayat 47 mengambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis Nabi Muhammad saw mengatakan : ”Tidur adalah saudara mati. Di surga tiada mati, sehingga tiada pula tidur.”17 Mati adalah perpisahan roh/jiwa dari jasad.18 Roh/jiwa tanpa tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam Barzakh sebelum seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka. Seseorang yang hidup di alam Barzakh dapat melihat apa yang terjadi pada keluarganya di dunia ini dan dapat pula melihat apa yang menantinya di alam surga atau neraka kelak. Karenanya, Al-Quran mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama hidupnya (QS 23:100)19.

5. Konsep kematian menurut teolog Kristen

5. 1. Yohanes Calvin
Yohanes Calvin (1509-1564) lahir di Noyon, Perancis Utara, tokoh Reformasi yang dikenal dengan karyanya “Institutio” (1536), sebagai bimbingan teologis bagi tafsiran dan penelaahan Alkitab20. Manusia menurut Calvin harus dimengerti berdasarkan Alkitab yaitu sebagai ciptaan Allah yang paling unggul dari seluruh ciptaan lain. Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Yang dimaksud jiwa ialah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan juga, yang merupakan bagian manusia yang paling luhur. Meskipun dalam rupa lahir seorang manusia tercermin kemuliaan Allah, namun tak perlu diragukan bahwa gambar Allah sebenarnya terdapat di dalam jiwa.21
Yang dimaksud “gambar” (tselem) adalah hakekat manusia yang tidak dapat berubah, sedangkan ”rupa” (demuth) adalah sifat manusia yang dapat berubah. Yang dimaksud dengan hakekat manusia yang tidak dapat berubah ialah bahwa manusia memiliki akal, kehendak dan pribadi. Dalam perkembangannya, manusia harus menjadi “serupa” dengan Tuhan Allah22. Di dalam jiwa manusia terdapat dua bagian, akal budi dan kemauan. Tugas akal budi ialah membeda-bedakan hal-hal yang ditemui, apakah harus dibenarkan atau disalahkan; dan tugas kemauan ialah memilih dan mengikuti apa yang dianggap baik oleh akal budi, menolak dan menjauhi apa yang disalahkannya. Akal budi adalah pemimpin dan pengatur jiwa, sedangkan kemauan selalu mengindahkan isyarat akal budi. Jadi Allah telah memperlengkapi jiwa manusia dengan akal budi dan kemauan sehingga manusia mempunyai kemauan bebas untuk mencapai kehidupan kekal23.
Dosa telah membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah sehingga gambar dan rupa Allah pada manusia menjadi rusak Setelah manusia jatuh dalam dosa, tubuh itu fana (mortal body). Tubuh adalah tabernakel bagi jiwa dan sekaligus dapat menjadi kemah Allah bagi kemuliaanNya. Jiwa berbeda dengan tubuh sebab jiwa itu tidak dapat mati atau abadi (immortal). Jiwa dan roh adalah sama yang keduanya menunjuk kepada hal batiniah pada manusia. Kematian adalah perpisahan antara jiwa dan tubuh. Pada saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Dengan demikian, tubuh yang fana (mortal body) identik dengan keberdosaan daging (sinful flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan orang percaya dalam peperangan menghadapi keinginan-keinginan daging24.
Ketika manusia meninggal, jiwa terpisah dari tubuh dan tubuh kembali kepada tanah/debu. Tetapi jiwa itu baka, dan setelah terpisah dari tubuh, jiwa tidak terkena hukuman dan tidak ”tidur” dalam kematian. Setelah kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu kebangkitan daging. Jiwa mengalami kedamaian yang lebih tinggi setelah lepas dari tubuh dan mencapai penyempurnaannya dalam kebahagiaan kebangkitan daging kelak. Jiwa orang percaya setelah keluar dari tubuh hidup terus dan merasakan ”kedamaian sementara” (provisional blessedness) di dalam Allah walaupun belum sempurna25.
Kesempurnaan kedamaian terjadi setelah kebangkitan daging kelak. Yang bangkit adalah tubuh dan bukan jiwa (1Kor. 15:54; Yoh 2:29). Daging yang dibangkitkan kelak tidak akan binasa dan dalam penyatuan dengan jiwa, siap menghadapi takhta pengadilan Kristus untuk menerima pahala kehidupan kekal. Walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Allah mengasihinya. Manusia berdosa diselamatkan Allah hanya karena anugerah (sola gratia) dalam Yesus Kristus sehingga manusia patut mengucap syukur dan memuliakan Allah (soli Deo gloria) atas anugerah keselamatan tersebut26.

5. 2. R. C. Sproul
R.C. Sproul, seorang teolog dan pendeta Amerika berpendapat bahwa manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah makhluk yang dibuat dari tubuh yang bersifat materi dan jiwa yang bukan materi. Baik tubuh maupun jiwa diciptakan Allah dan merupakan aspek yang berbeda. Paham dualitas ini menggambarkan bahwa manusia merupakan satu keberadaan dengan dua unsur yang berbeda, yang disatukan oleh Allah dalam penciptaan. Keberadaan manusia ini tidak memerlukan penambahan unsur atau substansi lain (seperti roh) baik secara filosofikal maupun secara eksegetikal, untuk menjembatani ketegangan dari dua unsur yang berada dalam diri manusia27.
Tubuh itu diciptakan baik dan tidak memiliki warisan kejahatan secara fisik. Namun, baik tubuh maupun jiwa telah tercemar secara moral oleh dosa. Manusia adalah berdosa baik tubuh maupun jiwanya. Jiwa manusia diciptakan oleh Allah dan tidak berasal dari kekekalan. Meskipun jiwa tidak terdiri dari materi dan tidak dapat dihancurkan oleh kekuatan fisik tetapi jiwa dapat dimusnahkan oleh Allah. Jiwa tidak dapat berada tanpa kebergantungan kepada Allah, ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah dikatakan pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” (Kisah para Rasul 17:28)
Pada waktu kematian, meskipun tubuh ini mati, tetapi baik jiwa orang percaya maupun orang tidak percaya tetap hidup. Orang-orang percaya menantikan pemenuhan dari penebusan mereka, sedangkan orang yang tidak percaya menunggu penghakiman Allah. Oleh karena Allah menjaga jiwa dari kematian, maka manusia memiliki kesadaran terus menerus akan keberadaan pribadinya yang melampaui kematian. Keseluruhan pribadi manusia jatuh ke dalam dosa; baik tubuh maupun jiwa adalah obyek penyelamatan Allah yang diberikan berdasarkan kasih karunia-Nya28.
5. 3. Andarias Kabanga’
Andarias Kabanga’, lahir di Rantelemo, Tana Toraja (21 Maret 1951) adalah pendeta Gereja Toraja dan Doktor teologi dari SEAGST yang mengajar sebagai dosen di STT Rantepao dan Direktur Pasca Sarjana STT Intim Makassar. Disertasinya menyoroti konsep mati seutuhnya dalam konteks Toraja dengan sudut pandang antropologi Kristen dalam kaitan dengan rumusan Pengakuan Gereja Toraja (PGT).
Kabanga’ dalam bukunya Manusia mati seutuhnya berpendapat bahwa manusia yang diciptakan Allah adalah suatu totalitas, keutuhan. Berdasarkan tafsirannya atas Kej. 2:7, nisymat hayyim (daya hidup) maupun nefesy hayah (jiwa hidup) diciptakan Allah, dan bukan zat Allah yang keluar dari diri-Nya. Nisymat hayyim adalah kehidupan atau daya hidup yang diciptakan Allah karena belum ada yang menghidupi jasad manusia pada saat itu. Tuhan Allahlah yang menciptakan nisymat itu barulah ada daya hidup yang dihembuskan. Dengan kata lain ”nafas hidup” adalah ciptaan dan bukanlah nafas-Nya Allah. Nisymat hayyim inilah yang dihembuskan ke dalam jasad yang diambil dari tanah sehingga jasad itu menjadi nefesy hayyah (jiwa hidup). Oleh karena sumber Yahwist selalu melukiskan Allah dalam karyaNya itu secara antropomorfis, maka dipakailah kata yippah (menghembuskan), sehingga banyak orang sering memahami nisymat sebagai nafas-Nya Allah. Akibatnya terjadi kesalahpahaman bahwa jiwa manusia dipahami sebagai ”jiwa-Nya” Allah, yang berarti zat Allah/unsur ilahi ada dalam diri manusia. Tubuh dan jiwa manusia adalah ciptaan dan fana. Karenanya sewaktu meninggal, dia secara totalitas: tubuh dan jiwanya takluk kepada maut. Dimensi jiwa dan roh pada manusia mengalami kematian sama seperti tubuhnya29.
Bila Alkitab berbicara tentang jiwa/roh orang yang telah mati (1 Sam. 28:7, Pkh. 12:7), itu tidak berarti bahwa dimensi jiwa/roh pada manusia immortal, melainkan yang ditekankan bahwa manusia secara totalitas atau seanteronya ”tidak habis”. Manusia seanteronya, yakni refaimnya (bayangan diri manusia) tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan kembali. Selama manusia itu mati, selama itu juga dimensi jiwanya dan tubuhnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa dan tidak bereksistensi seperti kalau manusia itu masih bernafas. Karena jiwa dan tubuh manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa ketika ia mati, maka mendiang bagaikan orang yang tidur (Lih. Luk 8:52-53). Dengan demikian, satu-satunya yang tidak takluk kepada maut hanyalah Allah, karena Dia itu kekal (1 Tim. 6:16)30.
Manusia mati seutuhnya dan karena itu manusia juga bangkit seutuhnya. Dikatakan bangkit seutuhnya, karena semua dimensi manusia ”dibangkitkan” dalam kuasa Allah. Allah tidak mencipta ulang untuk kebangkitan orang mati, melainkan dia jugalah yang dibangkitkan kelak. Kehidupan baka di masa datang bukanlah penciptaan baru. Yang mati itu jugalah yang akan hidup seanteronya dalam total personality yang sempurna yaitu tubuh sekaligus manusia rohani. Dengan demikian, ”aku” manusia yang mati, ”aku” itu juga yang dibangkitkan kelak31.
6. Kematian menurut kesaksian Alkitab

Kata yang dipakai dalam Perjanjian Lama untuk kematian adalah mawet, mut32 (Ibrani) dan Perjanjian Baru memakai kata thanatos, nekros33 (Yunani). Antropologi Perjanjian Lama menjelaskan bahwa manusia bukan berasal dari Allah melainkan diciptakan oleh Allah (Kej. 1:27) atau dibentuk oleh Allah dari debu tanah dan diberi kehidupan setelah Allah menghembus nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Bila manusia disebut ciptaan maka didalam manusia ada unsur ketidakkekalan (mortality). Dalam Kej. 2:16-17 terdapat larangan makan buah pengetahuan yang baik dan jahat dengan akibat ”mati”, mut. Perintah Allah itu itu dilanggar manusia sehingga manusia mati dalam pengertian terpisah dengan Allah; bukan mati dalam pengertian jasmani34. Sikap ketaatan kepada Allah juga dikemukakan oleh Tuhan Yesus saat dicobai Iblis di padang gurun (Mat. 4:4). Rasul Paulus juga berbicara manusia yang mati (nekros) karena pelanggaran dan dosa (Ef 2:1, Rm 7:9).Tekanan kata nekros adalah ”mati” karena terhukum. Selain itu dalam Roma 6:23, Rasul Paulus mengatakan bahwa upah dosa adalah maut (thanatos) dan yang telah masuk melalui dosa Adam (Rm. 5:12). Akibat dosa, manusia terputus hubungannya dengan Allah35.
Dalam Kej 2: 7 dikatakan bahwa Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah. Allah memasukkan nafas (neshamah) ke dalam bentuk jasmani, dan dengan cara itu manusia menjadi makhluk hidup (nefesh chayyah)36. Masuknya nafas Allah pada manusia bukan berarti manusia menerima jiwa atau roh ilahi (divine soul or spirit). Paham tentang roh atau jiwa yang ilahi tidak terdapat dalam Perjanjian Lama; hanya dikatakan bahwa roh (ruach) atau nafas kembali kepada Allah. (Pkh 12:7) Konsep ruach sama pengertiannya dengan pneuma dalam Perjanjian Baru37. Konsepsi nefesh (jiwa) adalah daya yang menghidupkan tubuh dan tidak dapat dibayangkan jika berada di luar tubuh. Perjanjian Lama tidak mengenal paham trikotomi, pembagian manusia ke dalam jiwa, roh dan tubuh, atau paham dikotomi, pembagian manusia ke dalam jiwa dan badan38. Roh bukan sesuatu yang terpisah dari jiwa. Roh dan jiwa tidak dapat pernah dipisahkan sama seperti jiwa dan tubuh39. Saat manusia mati tubuh itu memasuki proses menjadi tanah kembali (debu). Jelas, kematian membuat hidup manusia berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih tetap hidup, a shadow dalam Syeol40.
Paham immortalitas jiwa tidak dikenal dalam Alkitab. Manusia mengalami kematian bukan karena Tuhan, tetapi karena kemauan manusia sendiri yang hendak menjadi sama seperti Allah. Dosa utama ini yang membawa kematian dalam hidup manusia. Pandangan rohani yang dalam ini berasal dari konflik antara tradisi Yahwis berhadapan dengan konsepsi dunia Timur kuno. Manusia disebut sebagai gambar Allah (image of God), karena manusia memiliki hubungan khusus dengan Allah di mana manusia dipercaya menguasai alam semesta (Kej. 2:8-25). Di sini manusia hidup dalam ”keadaan tidak berdosa” sehingga mereka tidak malu saat keduanya telanjang41.
Manusia yang terdiri dari tubuh, roh dan jiwa disebut sebagai manusia seutuhnya; manusia sebagai suatu totalitas. Manusia yang utuh ini yang Allah ciptakan dan sekaligus diselamatkan Allah setelah jatuh dalam dosa. Keselamatan yang Allah berikan bukanlah keselamatan untuk jiwanya saja, tetapi keselamatan untuk tubuhnya juga. Manusia adalah suatu kesatuan dari tubuh dan jiwa42. Suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kalau manusia mati, ia mati seluruhnya sebagai tubuh dan jiwa. Itu yang dikatakan oleh Alkitab dan yang juga akan terjadi pada tiap-tiap manusia. Allah bersama-sama manusia dalam hidupnya dan Allah juga bersama-sama dengan manusia pada waktu manusia mati dan sesudah manusia mati43.
Jelas bahwa manusia mati sebagai manusia dalam totalitas dirinya. Ia mati sebagai diri yang rohani dan badani. Maka kematian badani adalah lambang yang tepat yang menjelaskan lebih mendalam bahwa maut adalah akibat dosa dan tidak terelakkan44. Bila dosa mengakibatkan kematian, maka Kristus telah diutus Allah untuk menghapuskan dosa manusia sehingga di dalam Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Dengan jalan itu, Allah memberikan kepada manusia kemungkinan baru untuk hidup sebagai partnerNya45.







Kesimpulan dan Refleksi

1. Kesimpulan
Pertama, Ajaran immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat (Plato), budaya (kepercayaan tradisionil suku Batak) dan ajaran agama (Islam/Kristen), termasuk teolognya (Yohanes Calvin dan R.C. Sproul).
Kedua, Ilmu pengetahuan kedokteran memahami manusia sebagai satu kesatuan tubuh, jiwa dan rohnya baik di saat hidup maupun mati.
Ketiga, Andarias Kabanga’ dengan argumentasi teologis yang kuat dan mendasar, berkeyakinan bahwa jiwa dan tubuh manusia adalah ciptaan Allah yang pada akhirnya mati seutuhnya. Hanya Refaimnya manusia yang tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan kembali.
Keempat, Alkitab tidak ada menyebut sama sekali dikotomi atau trikotomi tubuh, jiwa dan roh. Tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan yang utuh dan bersifat fana. Totalitas atau keutuhan manusia berlaku saat hidup, mati dan kebangkitannya dalam persekutuan dengan Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus.

2. Refleksi
Paham immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat, budaya dan ajaran agama, termasuk Kekristenan. Paham immortalitas jiwa, mengakibatkan cara memahami pesan Alkitab seperti Kejadian 1:27 ada dalam bingkai immortalitas jiwa. Saya secara pribadi menerima dengan keyakinan iman pandangan teologis Andarias Kabanga’ tentang keutuhan manusia baik dalam hidup maupun matinya. Immortalitas jiwa sebagaimana filsafat Plato, kepercayaan tradisionil suku Batak atau pandangan teologi Calvin dan Sproul tidak dapat saya terima karena membingungkan dan menyesatkan sebab manusia dipahami secara terpecah belah dimana jiwa/roh dinilai mulia dan tubuh dinilai jahat. Karenanya bagi saya yang berlatar belakang suku Batak, menjadi jelas mengapa orang Batak mengekspresikan dukacitanya secara mendalam sewaktu meratapi mendiang sebab berakarnya paham immortalitas jiwa..
Paham immortalitas jiwa tanpa disadari diterima dan menjadi pemahaman pribadi di kalangan warga jemaat karena pembacaan Alkitab secara harafiah tanpa mencari penjelasan lebih lengkap terlebih dahulu. Selain itu, khotbah para pendeta dan bacaan-bacaan kristen populer bukan tidak mungkin turut menyuburkan dan menguatkan pemahaman immortalitas jiwa di kalangan warga jemaat. Perkembangan terbaru dapat disaksikan dengan maraknya tayangan sinetron di televisi yang menggambarkan jiwa atau roh manusia yang mengganggu dan menuntut balas kematiannya terhadap mereka yang masih hidup. Saat terjadi musibah, jasa paranormal sebagai medium dalam berkomunikasi dengan jiwa-jiwa, telah dimanfaatkan untuk mencari para korban kecelakaan pesawat terbang atau kapal laut yang tenggelam. Pasti terjadi reaksi jika paham immortalitas jiwa hendak disebarluaskan di kalangan warga jemaat. Perlu sikap hati-hati dan bijak sehingga tidak terjadi gejolak hebat dikalangan warga jemaat. Pembinaan di kalangan pendeta dan Majelis Jemaat/Gereja harus diutamakan melalui materi-materi bina dan perangkat-perangkat Tata Gereja dan berlanjut kepada warga jemaat.
DAFTAR PUSTAKA



Abineno, J.L. Ch. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Arifin, H. Bey. Hidup Sesudah mati, Jakarta: Penerbit C.V. Kinta, 1994.
Berkhof, H. Christian Faith, An Introduction to The Study of The Faith, Michigan: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1979.
Berkhof, L. The History of Christian Doctrines, Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1975.
Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen, cet. Ke-2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Douglas, J.D. et.al., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II: M-Z, cet. ke-6, Terj. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2002.
Freedman, David N. (Ed), Eerdmans Dictionary of The Bible, Michigan:
Wm. Eerdmans Publishing Company, 2000.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Kabanga’, A. Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen, Pengantar: Prof (Em) Dr. Sularso Sopater, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.
Kittel, Gerhard & Friedrich, Gerhard. (Ed) Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: Wm Eerdmans Publishing Company, 1985), hlm. 312.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Terj. Conny Item-Corputy, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Leon-Dufour, Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Lumbantobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Niebuhr, Reinhold. The Nature and Destiny of Man, A Christian Interpretation, New York: Charles Scribners Sons, 1943.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al_Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. ke-19, Bandung: Penerbit Mizan.
Sproul, R.C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Terj. R. Tanudjaja, Malang: Departemen Literatur SAAT, 1998.
Sumartana, Th. (ed), Ecce Homo, Jakarta: Penerbit Aurora, 1994.
van Peursen, C.A. Tubuh-jiwa-roh, suatu pengantar dalam filsafat manusia,
Terj. K. Bertens, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Vriezen, Th. C. An Outline of Old Testament Theology, Oxford: Basil Blackwell 1958.
LEGALISME:
Kritik Fletcher dan relevansinya


Pendekatan etis dalam keputusan
Fletcher menyebutkan 3 pendekatan dalam pengambilan keputusan etis yaitu : legalisme, antinomianisme dan situasionisme1. Legalisme menurut
Fletcher memiliki pengertian sebagai berikut.
1. Legalisme menjadikan seseorang memiliki seperangkat aturan dan peraturan yang siap pakai. Kepentingan utamanya bagaimana yang tersurat dalam suatu produk hukum diikuti dan diberlakukan. Dalam setiap persoalan telah tersedia jawaban yang tepat tanpa perlu diragukan lagi keabsahannya.
2. Fletcher menilai bahwa Protestantisme dan Katolikisme telah menjadi agama legalistik sama seperti Yudaisme. Orang-orang Yahudi hidup dalam Taurat dan tradisi lisannya (halakah). Tafsiran dan aplikasi dari keduanya menghasilkan 613 (atau 621) peraturan yang harus ditaati tanpa terkecuali. Undang-undang dan perintah hukum bertumpuk-tumpuk, peraturan diatas peraturan dan membentuk piramida hukum: Pentateukh ke Midrash dan Mishna ke Talmud. Akibatnya kematian tragis bagi pathos (perhatian kasih Allah untuk berbagi) dan ethos (hidup dengan kasih sebagai norma, bukannya program kerja) yang disuarakan nabi-nabi. Pemahaman atas situasi merupakan kepekaan para nabi.
3. Orang Katolik mengembangkan sistem hukum moral yang disebut dengan kasuistri (daftar apa yang boleh dan tidak). Dengan kasuistri, seseorang dapat mengasihi sesamanya dengan benar. Sementara orang Protestan sekalipun tidak memiliki sistem hukum yang rumit, mereka menjadi orang-orang puritan dalam norma moral dan agama.
4. Legalisme telah buta dalam melihat faktor keraguan dan kebingungan yang dialami seseorang dalam hidupnya. Legalisme lebih mudah menghukum daripada menolong seseorang yang mengalami kesulitan dalam hidup. Orang-orang katolik dan Protestan bertanggungjawab terhadap kematian orang-orang homoseksual yang dibakar pada abad pertengahan. Orang legalis dapat memahami dan menerima jika keputusan hukum mendatangkan malapetaka atau tidak menunjukkan kasih, sebab bagi mereka ”Tegakkan hukum sekalipun langit akan runtuh!” (Fiat justitia, ruat caelum!).
5. Legalisme dalam kekristenan memuat dua bentuk. Moralis Katolik menekankan pertimbangan (akal) legalistik (legalistic reason) yang berdasarkan hukum kodrat. Mereka membayangkan peraturan etis yang dapat digunakan menghadapi kenyataan alam dan pengalaman sejarah. Serupa dengan itu, moralis Protestan menggunakan Alkitab sebagai hukum moralnya. Hukum moral alkitabiah yang didasarkan firman dan perkataan (words and sayings) Hukum dan Nabi, penginjil dan rasul. Moralis Protestan menekankan penyataan legalistik (legalistic revelation). Yang satu rasionalis, yang lain biblistik; yang satu alamiah (natural), yang lain alkitabiah (scriptural). Keduanya sama-sama legalistik. Selain itu dapat dikatakan bahwa moralis Katolik pun setuju dengan hukum yang diwahyukan (revealed law), seperti hukum positif ilahi 10 perintah Allah dan moralis Protestan mengunakan akal budi dalam menafsirkan perkataan-perkataan Alkitab (hermeneutik).

Legalisme: Ketaatan buta tanpa hati nurani
Fletcher menguraikan dengan taktis betapa legalisme tidak menolong manusia dalam mengambil keputusan etis yang tepat. Legalisme tidak menyediakan ruang yang berbeda bagi tindakan etis tertentu. Keseragaman bagi semua orang dalam bertindak diutamakan meskipun harus ada yang dikorbankan. Fletcher dengan negatif menilai orang Yahudi, Katolik dan Protestan telah menjadi pelaku legalisme. Fletcher sama sekali dan tidak sedikit pun memberikan penghargaan positif terhadap keberadaan dan fungsi hukum dan peraturan dalam kehidupan manusia. Banyaknya produk hukum dan peraturan serta ketidakmampuan dalam mempraktekkannya sudah jadi alasan kuat bagi Fletcher untuk menolak legalisme dalam pengambilan keputusan etis.
Saya tidak setuju dengan pendapat Fletcher bahwa Katolik dan Protestan mempraktekkan legalisme dalam kehidupan beriman sebagaimana agama Yahudi. Pendapat Fletcher terlalu subjektif karena tidak mempertimbangkan kenyataan kekristenan yang kuat ketika menjadi agama negara. Peraturan agama tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak didukung kekuasaan politik yang stabil.

Hukum: kepastian etis dan roh yang membebaskan
Hukum dan peraturan pada dirinya sendiri menurut saya sangat bermanfaat dalam mengatur dan menata segala bidang dan perkara dalam hidup manusia termasuk dalam kehidupan beragama. Hukum dan peraturan itu diperlukan untuk kelancaran hidup, misalnya hukum perkawinan; untuk keabsahan hidup bersama, misalnya hukum perkawinan; untuk menjaga dan melindungi kehidupan, misalnya Undang-undang Anti Aborsi. Hukum dan peraturan memberikan kepastian dan keamanan hidup sehingga seseorang ada dalam jalur hidup yang benar serta hidup dan perilakunya dihormati masyarakat. Hukum dan peraturan dapat memudahkan seseorang untuk bersikap dan bertindak di tengah kehidupan yang kompleks dan membingungkan2.
Orang beriman memandang hukum dan kewajiban moral yang universal berdasarkan karakter Allah yang tidak berubah. Allah adalah kudus dan perintah itu, benar dan baik (Rm 7:12). Ketaatan kepada hukum mendatangkan kebaikan sebagaimana yang Musa katakan kepada orang Israel ”agar berpegang pada perintah dan ketetapan Tuhan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu.” (Ulangan 10:13) Yesus sendiri menghormati kewibawaan hukum Allah seperti yang dikatakan, ”Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17) Yesus bahkan memberi pujian kepada mereka yang taat hukum, ”Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu ” (Matius 23:3). Jelas memelihara hukum dan perintah Allah adalah pengungkapan praktis dari kasih3. Hidup bebas dari tuntutan-tuntutan hukum berarti bertentangan dengan hubungan dengan Allah yang telah dibangun oleh anugerah. Orang beriman mengemari hukum Allah menurut manusia batinnya (Rm 7:22) dan taat kepada peraturan-peraturan pemerintah (Rm 13; 1 Ptr 2:13-14)).
Legalisme menjadi berbahaya ketika ketaatan kepada hukum terjadi secara harafiah, mutlak dan statis.4 Legalisme cenderung mengabaikan roh dari hukum agar dapat menghindari pelanggaran huruf di dalam hukum itu5. Yesus mengkritik tajam sikap legalisme, ”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Mrk 2:27) Yesus mengutamakan yang tersirat, tetapi tidak menyampingkan yang tersurat. Yesus menghendaki bahwa belas kasihan diutamakan ketimbang mencari kesalahan dan mengadili sesuai hukum yang berlaku6. Hukum, bagi Yesus bukanlah Tuhan. Ketaatan Yesus bukanlah kepada hukum sebagai instansi terakhir, tetapi kepada Tuhan sang Pemberi hukum, ”Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. (Mat. 12:8) Hukum tidak dapat dipraktekkan di segala waktu dan tempat secara ketat. Ada situasi khusus yang dialami manusia sehingga dapat diambil sikap khusus pula. Sikap khusus ini adalah kekecualian dan tidak berlaku umum, misalnya ”Barangsiapa yang menceraikan isterinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zina (Matius 19:9).7

Dilema moral: kekecualian sebagai alternatif etis
Dilema moral perlu dipertimbangkan secara khusus dan karenanya ada kekecualian. Atau meminjam istilah Karl Barth, suatu ”possible immpossibility”. Sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi dalam kenyataannya mungkin terjadi, misalnya peperangan, penyakit dan perceraian. Yang jelas adalah salah bila ”kekecualian” dianggap sebagai ”aturan umum” untuk diberlakukan dalam semua situasi dan tempat8.
Kekeliruan yang dipraktekkan orang Yahudi, Katolik dan Protestan di masa lampau berkenaan dengan hukum dan peraturan tidak dapat dipertahankan dan diteruskan pada masa sekarang. Memang legalisme di satu pihak mendatangkan kebaikan bagi manusia, namun di lain pihak dapat mencelakakan hidup manusia itu sendiri jika seluruh dimensi hidup manusia diatur sedemikian rinci seperti yang dipraktekkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, di mana ”Mereka mengikat beban-beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.” (Mat. 23:4)
Akibatnya, kepatuhan kepada hukum menggantikan kepatuhan manusia kepada Allah. Legalisme berakibat bahwa seseorang dapat mengganti Allah yang hidup dengan buku hukum yang tidak bernyawa. Implikasinya bahwa pengambilan keputusan etis menjadi proses penafsiran dan penerapan hukum saja dan bukannya cara mencari kehendak Allah. Legalisme mengabaikan pentingnya iman dan bimbingan Roh Kudus dalam pengambilan etis9. Legalisme hanya menghasilkan etika yang kaku dan sempit serta tidak menjawab masalah moral terdalam manusia dalam konteksnya.10 Di sinilah perlunya sikap kasih dan kepekaan kepada kebutuhan sesama dikembangkan sehingga pengambilan keputusan etis tidak cenderung menghakimi dan membelenggu kebebasan manusia.11



Salam etis,
SGR Sihombing

Catatan kaki.

1. Joseph Fletcher, Situation Ethics, The New Morality, (Philadelphia: The Westminster
Press, 1966), hlm. 18-22.
2. A. Mangunhardjana, Isme-isme: dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997),
hlm. 144-145.
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet. Ke-7, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002), hlm. 408.
4. C. Kiswara, Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.19-20.
5. Norman Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003), hlm 118.
6. J.J. de Heer, Injil Matius: Pasal 1-22, (Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001), hlm. 227
7. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), Hlm. 64-65
8. Eka Darmaputera, Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005), hlm. 179-180.
9. Harold H. Rowdon, Hukum Taurat dan Kasih, (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,
1992), hlm. 17.
10. Bernard T Adeney, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, (Illinois: InterVarsity Press, 1995), hlm 35.
11. Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, cet. ke-5, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 214-215.

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernard T, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, Illinois: InterVarsity Press, 1995.
Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya, cet. ke-5, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Darmaputera, Eka. Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, Hlm. 64-65
Darmaputera, Eka. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.
Fletcher, Joseph, Situation Ethics, The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet. Ke-7, Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002.
Geisler, Norman. Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, Malang Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003.
Heer, J.J. de, Injil Matius: Pasal 1-22, Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001.
Mangunhardjana, A. Isme-isme: dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Kiswara, C. Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Rowdon, Harold H. Hukum Taurat dan Kasih, Jakarta: Persekutuan Pembaca
Alkitab, 1992.