Rabu, 21 November 2007

KEMATIAN:
Perspektif dan sikap teologis

Pendahuluan

“Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” (Ay. 14:14) Pertanyaan Ayub ini menjelaskan kepada kita bahwa kematian merupakan realitas yang pasti dihadapi semua manusia tanpa terkecuali. Kematian memberi kesadaran bagi kita bahwa hidup manusia terbatas. Kematian dapat dialami siapa saja, besar-kecil, tua-muda, tanpa diduga sama sekali dan dapat terjadi lebih awal karena kelaparan, sakit penyakit, perang dan bencana alam. Kematian adalah akhir radikal dari eksistensi manusia1. Secara iman, kematian dipandang sebagai akibat ketidaktaatan terhadap Allah.2
Pertanyaan klasik yang selalu diajukan: bagaimanakah sebenarnya keadaan manusia saat mati? Apakah hanya tubuh manusia yang mati dan jiwa/roh manusia tetap hidup? Apakah tubuh berbeda dengan jiwa/roh saat terjadi kamatian? Apakah jiwa/roh manusia tidak mati (immortal) ? Makalah ini hendak menjelaskan soal kematian dari berbagai sudut pandang, antara lain filsafat (Plato), budaya (Batak), ilmu kedokteran dan agama (Islam dan Kristen). Secara khusus pandangan para teolog Kristen dan kesaksian Alkitab mengenai kematian, diuraikan dengan panjang lebar. Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan refleksi teologis.

1. Konsep kematian menurut filsafat

Dalam sejarah filsafat dualisme antara jiwa dan tubuh dikembangkan oleh Plato (429-347 s.M), seorang murid Socrates dan pendiri gymnasium yang dinamai ”Academi”. Plato menekankan bahwa yang rohani mempunyai prioritas terhadap yang jasmani. Jiwa berlainan dengan tubuh. Jiwa dapat dibagi atas tiga fungsi: epithmia (keinginan), thymos (energik) dan sebagai puncaknya logos (rasional). Sebelum seseorang dilahirkan, ia sudah berada sebagai jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi, di mana ia dapat memandang suatu dunia rohani. Di dunia rohani itu, jiwa menikmati pengetahuan mengenai ide-ide dalam dalam cara hidup kontemplatif. Di dunia rohani, jiwa sejak dahulu sudah ada, dan karena itu jiwa itu baka3. Jiwa hendaknya dipandang bukan seperti ia menampakkan diri dalam kenyataan (bertalian dengan tubuh), melainkan dalam kemurniannya, tanpa dicemarkan oleh tubuh. Dengan demikian kematian dapat dianggap sebagai pengungsian penuh gembira dari tubuh. Bila tubuh musnah, jiwa hidup terus4.
Kelahiran menyebabkan jiwa manusia terkurung dalam tubuh. Tubuh adalah penghalang bagi jiwa yang selalu bergerak. Karenanya manusia harus melepaskan diri dari tubuh dengan cara melayangkan pandangannya pada realitas yang ideal melalui filsafat. Filsafat sebagai latihan dalam melepaskan ikatan-ikatan jiwa dan persiapan akan kematian. Dengan demikian filsafat sebagai hasrat akan kebijaksanaan menjadi juga suatu jalan keselamatan5.

2. Konsep kematian menurut budaya Batak

Secara genealogis-antropologis, suku Batak yang bermukim di bagian utara dan barat laut Pulau Sumatera terdiri dari enam suku, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan suku Mandailing. Kata Batak memiliki pengertian beragam, misalnya: ’penunggang kuda yang lincah’ atau ’kafir’ atau ’budak-budak yang bercap’6. Dalam salah satu mitologi Batak, manusia pertama bernama Tuan Mulana (Yang Awal) yang hidup karena hasil karya Boru Deak Parujar (putri dewa yang berada di bumi) setelah menerima perintah dari Mulajadi Na Bolon (sang Awal yang Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada). Atas ketetapan Mulajadi Na Bolon, maka Boru Deak Parujar menjadi manusia dan istri dari Tuan Mulana. Merekalah yang menjadi nenek moyang orang Batak.7 Mulajadi Na Bolon diyakini sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit dan bumi dan dan singgasananya berada di atas langit ketujuh. Di sana, Mulajadi Na Bolon dikelilingi oleh segala dewa-dewa, raja-raja dan pembesar-pembesar dunia ini8.
Kematian dipercaya sebagai tempat berkumpulnya roh-roh orang yang sudah mati, yang sewaktu-waktu akan datang kembali untuk mengambil sanak keluarga, kenalan, atau orang asing, untuk dibawa ke tempat kumpulan itu. Karenanya, orang Batak berkata: ”Na dialap ompungna do i.” Artinya, ”Dia sudah diambil neneknya”. Hidup di akhirat setelah kematian adalah kelanjutan hidup di dunia ini.9 Saat kematian terjadi, para anggota keluarga duduk berjongkok mengelilingi jenazah dan meratapinya. Ritus ratapan (andung) dilakukan karena mereka merasa segan dan takut terhadap begu (hantu) yang telah mengambil jiwa orang yang ditangisi itu. Karena dia (almarhum) sudah jadi asing dan berada di bawah kekuasaan setan maut. Di sini pentingnya kehadiran tokoh datu (tokoh spirituil adat) untuk menjaga supaya roh orang mati tidak mengikutsertakan jiwa seorang dari orang-orang yang mengantarkannya memasuki liang lahatnya. Hubungan orang mati dan yang hidup tidak berakhir dengan kematian. Roh orang mati masih dapat mengunjungi keluarganya untuk memberi nasihat atau petunjuk. Baru setelah 5 generasi hubungan roh orang mati dan keturunannya putus10.
3. Konsep kematian menurut ilmu kedokteran

Penyebab kematian menurut ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa atau dengan Allah, melainkan diakibatkan tidak berfungsinya organ tertentu dari tubuh manusia. Kematian menurut dokter H. Tabrani Rab dapat disebabkan empat faktor: (1) berhentinya pernafasan, (2) matinya jaringan otak, (3) tidak berdenyutnya jantung serta (4) adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri11. Seseorang dinyatakan mati menurut Dr. Sunatrio bilamana fungsi spontan pernafasan/paru-paru dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak12. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada suatu makhluk. Dalam ilmu kedokteran, jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan. Belum dapat dibuktikan bahwa tubuh dapat dipisahkan dari jiwa dan jiwa itu baka. Manusia dipahami secara holistik atau utuh.13.

4. Konsep kematian menurut agama Islam

Manusia menurut ajaran agama Islam adalah makhluk Tuhan Allah. Manusia berada karena diciptakan oleh Allah. Manusia bukan Allah, bukan keturunan Allah, melainkan makhluk yang harus menghambakan diri kepada Allah14. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh (jasad). Unsur roh atau jiwa dipahami berasal ”dari atas”, sementara unsur tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi15. Roh atau nyawa manusia adalah zat yang halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu16.
Surat Al-Zumar ayat 47 mengambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis Nabi Muhammad saw mengatakan : ”Tidur adalah saudara mati. Di surga tiada mati, sehingga tiada pula tidur.”17 Mati adalah perpisahan roh/jiwa dari jasad.18 Roh/jiwa tanpa tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam Barzakh sebelum seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka. Seseorang yang hidup di alam Barzakh dapat melihat apa yang terjadi pada keluarganya di dunia ini dan dapat pula melihat apa yang menantinya di alam surga atau neraka kelak. Karenanya, Al-Quran mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama hidupnya (QS 23:100)19.

5. Konsep kematian menurut teolog Kristen

5. 1. Yohanes Calvin
Yohanes Calvin (1509-1564) lahir di Noyon, Perancis Utara, tokoh Reformasi yang dikenal dengan karyanya “Institutio” (1536), sebagai bimbingan teologis bagi tafsiran dan penelaahan Alkitab20. Manusia menurut Calvin harus dimengerti berdasarkan Alkitab yaitu sebagai ciptaan Allah yang paling unggul dari seluruh ciptaan lain. Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Yang dimaksud jiwa ialah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan juga, yang merupakan bagian manusia yang paling luhur. Meskipun dalam rupa lahir seorang manusia tercermin kemuliaan Allah, namun tak perlu diragukan bahwa gambar Allah sebenarnya terdapat di dalam jiwa.21
Yang dimaksud “gambar” (tselem) adalah hakekat manusia yang tidak dapat berubah, sedangkan ”rupa” (demuth) adalah sifat manusia yang dapat berubah. Yang dimaksud dengan hakekat manusia yang tidak dapat berubah ialah bahwa manusia memiliki akal, kehendak dan pribadi. Dalam perkembangannya, manusia harus menjadi “serupa” dengan Tuhan Allah22. Di dalam jiwa manusia terdapat dua bagian, akal budi dan kemauan. Tugas akal budi ialah membeda-bedakan hal-hal yang ditemui, apakah harus dibenarkan atau disalahkan; dan tugas kemauan ialah memilih dan mengikuti apa yang dianggap baik oleh akal budi, menolak dan menjauhi apa yang disalahkannya. Akal budi adalah pemimpin dan pengatur jiwa, sedangkan kemauan selalu mengindahkan isyarat akal budi. Jadi Allah telah memperlengkapi jiwa manusia dengan akal budi dan kemauan sehingga manusia mempunyai kemauan bebas untuk mencapai kehidupan kekal23.
Dosa telah membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah sehingga gambar dan rupa Allah pada manusia menjadi rusak Setelah manusia jatuh dalam dosa, tubuh itu fana (mortal body). Tubuh adalah tabernakel bagi jiwa dan sekaligus dapat menjadi kemah Allah bagi kemuliaanNya. Jiwa berbeda dengan tubuh sebab jiwa itu tidak dapat mati atau abadi (immortal). Jiwa dan roh adalah sama yang keduanya menunjuk kepada hal batiniah pada manusia. Kematian adalah perpisahan antara jiwa dan tubuh. Pada saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Dengan demikian, tubuh yang fana (mortal body) identik dengan keberdosaan daging (sinful flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan orang percaya dalam peperangan menghadapi keinginan-keinginan daging24.
Ketika manusia meninggal, jiwa terpisah dari tubuh dan tubuh kembali kepada tanah/debu. Tetapi jiwa itu baka, dan setelah terpisah dari tubuh, jiwa tidak terkena hukuman dan tidak ”tidur” dalam kematian. Setelah kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu kebangkitan daging. Jiwa mengalami kedamaian yang lebih tinggi setelah lepas dari tubuh dan mencapai penyempurnaannya dalam kebahagiaan kebangkitan daging kelak. Jiwa orang percaya setelah keluar dari tubuh hidup terus dan merasakan ”kedamaian sementara” (provisional blessedness) di dalam Allah walaupun belum sempurna25.
Kesempurnaan kedamaian terjadi setelah kebangkitan daging kelak. Yang bangkit adalah tubuh dan bukan jiwa (1Kor. 15:54; Yoh 2:29). Daging yang dibangkitkan kelak tidak akan binasa dan dalam penyatuan dengan jiwa, siap menghadapi takhta pengadilan Kristus untuk menerima pahala kehidupan kekal. Walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Allah mengasihinya. Manusia berdosa diselamatkan Allah hanya karena anugerah (sola gratia) dalam Yesus Kristus sehingga manusia patut mengucap syukur dan memuliakan Allah (soli Deo gloria) atas anugerah keselamatan tersebut26.

5. 2. R. C. Sproul
R.C. Sproul, seorang teolog dan pendeta Amerika berpendapat bahwa manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah makhluk yang dibuat dari tubuh yang bersifat materi dan jiwa yang bukan materi. Baik tubuh maupun jiwa diciptakan Allah dan merupakan aspek yang berbeda. Paham dualitas ini menggambarkan bahwa manusia merupakan satu keberadaan dengan dua unsur yang berbeda, yang disatukan oleh Allah dalam penciptaan. Keberadaan manusia ini tidak memerlukan penambahan unsur atau substansi lain (seperti roh) baik secara filosofikal maupun secara eksegetikal, untuk menjembatani ketegangan dari dua unsur yang berada dalam diri manusia27.
Tubuh itu diciptakan baik dan tidak memiliki warisan kejahatan secara fisik. Namun, baik tubuh maupun jiwa telah tercemar secara moral oleh dosa. Manusia adalah berdosa baik tubuh maupun jiwanya. Jiwa manusia diciptakan oleh Allah dan tidak berasal dari kekekalan. Meskipun jiwa tidak terdiri dari materi dan tidak dapat dihancurkan oleh kekuatan fisik tetapi jiwa dapat dimusnahkan oleh Allah. Jiwa tidak dapat berada tanpa kebergantungan kepada Allah, ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah dikatakan pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” (Kisah para Rasul 17:28)
Pada waktu kematian, meskipun tubuh ini mati, tetapi baik jiwa orang percaya maupun orang tidak percaya tetap hidup. Orang-orang percaya menantikan pemenuhan dari penebusan mereka, sedangkan orang yang tidak percaya menunggu penghakiman Allah. Oleh karena Allah menjaga jiwa dari kematian, maka manusia memiliki kesadaran terus menerus akan keberadaan pribadinya yang melampaui kematian. Keseluruhan pribadi manusia jatuh ke dalam dosa; baik tubuh maupun jiwa adalah obyek penyelamatan Allah yang diberikan berdasarkan kasih karunia-Nya28.
5. 3. Andarias Kabanga’
Andarias Kabanga’, lahir di Rantelemo, Tana Toraja (21 Maret 1951) adalah pendeta Gereja Toraja dan Doktor teologi dari SEAGST yang mengajar sebagai dosen di STT Rantepao dan Direktur Pasca Sarjana STT Intim Makassar. Disertasinya menyoroti konsep mati seutuhnya dalam konteks Toraja dengan sudut pandang antropologi Kristen dalam kaitan dengan rumusan Pengakuan Gereja Toraja (PGT).
Kabanga’ dalam bukunya Manusia mati seutuhnya berpendapat bahwa manusia yang diciptakan Allah adalah suatu totalitas, keutuhan. Berdasarkan tafsirannya atas Kej. 2:7, nisymat hayyim (daya hidup) maupun nefesy hayah (jiwa hidup) diciptakan Allah, dan bukan zat Allah yang keluar dari diri-Nya. Nisymat hayyim adalah kehidupan atau daya hidup yang diciptakan Allah karena belum ada yang menghidupi jasad manusia pada saat itu. Tuhan Allahlah yang menciptakan nisymat itu barulah ada daya hidup yang dihembuskan. Dengan kata lain ”nafas hidup” adalah ciptaan dan bukanlah nafas-Nya Allah. Nisymat hayyim inilah yang dihembuskan ke dalam jasad yang diambil dari tanah sehingga jasad itu menjadi nefesy hayyah (jiwa hidup). Oleh karena sumber Yahwist selalu melukiskan Allah dalam karyaNya itu secara antropomorfis, maka dipakailah kata yippah (menghembuskan), sehingga banyak orang sering memahami nisymat sebagai nafas-Nya Allah. Akibatnya terjadi kesalahpahaman bahwa jiwa manusia dipahami sebagai ”jiwa-Nya” Allah, yang berarti zat Allah/unsur ilahi ada dalam diri manusia. Tubuh dan jiwa manusia adalah ciptaan dan fana. Karenanya sewaktu meninggal, dia secara totalitas: tubuh dan jiwanya takluk kepada maut. Dimensi jiwa dan roh pada manusia mengalami kematian sama seperti tubuhnya29.
Bila Alkitab berbicara tentang jiwa/roh orang yang telah mati (1 Sam. 28:7, Pkh. 12:7), itu tidak berarti bahwa dimensi jiwa/roh pada manusia immortal, melainkan yang ditekankan bahwa manusia secara totalitas atau seanteronya ”tidak habis”. Manusia seanteronya, yakni refaimnya (bayangan diri manusia) tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan kembali. Selama manusia itu mati, selama itu juga dimensi jiwanya dan tubuhnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa dan tidak bereksistensi seperti kalau manusia itu masih bernafas. Karena jiwa dan tubuh manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa ketika ia mati, maka mendiang bagaikan orang yang tidur (Lih. Luk 8:52-53). Dengan demikian, satu-satunya yang tidak takluk kepada maut hanyalah Allah, karena Dia itu kekal (1 Tim. 6:16)30.
Manusia mati seutuhnya dan karena itu manusia juga bangkit seutuhnya. Dikatakan bangkit seutuhnya, karena semua dimensi manusia ”dibangkitkan” dalam kuasa Allah. Allah tidak mencipta ulang untuk kebangkitan orang mati, melainkan dia jugalah yang dibangkitkan kelak. Kehidupan baka di masa datang bukanlah penciptaan baru. Yang mati itu jugalah yang akan hidup seanteronya dalam total personality yang sempurna yaitu tubuh sekaligus manusia rohani. Dengan demikian, ”aku” manusia yang mati, ”aku” itu juga yang dibangkitkan kelak31.
6. Kematian menurut kesaksian Alkitab

Kata yang dipakai dalam Perjanjian Lama untuk kematian adalah mawet, mut32 (Ibrani) dan Perjanjian Baru memakai kata thanatos, nekros33 (Yunani). Antropologi Perjanjian Lama menjelaskan bahwa manusia bukan berasal dari Allah melainkan diciptakan oleh Allah (Kej. 1:27) atau dibentuk oleh Allah dari debu tanah dan diberi kehidupan setelah Allah menghembus nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Bila manusia disebut ciptaan maka didalam manusia ada unsur ketidakkekalan (mortality). Dalam Kej. 2:16-17 terdapat larangan makan buah pengetahuan yang baik dan jahat dengan akibat ”mati”, mut. Perintah Allah itu itu dilanggar manusia sehingga manusia mati dalam pengertian terpisah dengan Allah; bukan mati dalam pengertian jasmani34. Sikap ketaatan kepada Allah juga dikemukakan oleh Tuhan Yesus saat dicobai Iblis di padang gurun (Mat. 4:4). Rasul Paulus juga berbicara manusia yang mati (nekros) karena pelanggaran dan dosa (Ef 2:1, Rm 7:9).Tekanan kata nekros adalah ”mati” karena terhukum. Selain itu dalam Roma 6:23, Rasul Paulus mengatakan bahwa upah dosa adalah maut (thanatos) dan yang telah masuk melalui dosa Adam (Rm. 5:12). Akibat dosa, manusia terputus hubungannya dengan Allah35.
Dalam Kej 2: 7 dikatakan bahwa Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah. Allah memasukkan nafas (neshamah) ke dalam bentuk jasmani, dan dengan cara itu manusia menjadi makhluk hidup (nefesh chayyah)36. Masuknya nafas Allah pada manusia bukan berarti manusia menerima jiwa atau roh ilahi (divine soul or spirit). Paham tentang roh atau jiwa yang ilahi tidak terdapat dalam Perjanjian Lama; hanya dikatakan bahwa roh (ruach) atau nafas kembali kepada Allah. (Pkh 12:7) Konsep ruach sama pengertiannya dengan pneuma dalam Perjanjian Baru37. Konsepsi nefesh (jiwa) adalah daya yang menghidupkan tubuh dan tidak dapat dibayangkan jika berada di luar tubuh. Perjanjian Lama tidak mengenal paham trikotomi, pembagian manusia ke dalam jiwa, roh dan tubuh, atau paham dikotomi, pembagian manusia ke dalam jiwa dan badan38. Roh bukan sesuatu yang terpisah dari jiwa. Roh dan jiwa tidak dapat pernah dipisahkan sama seperti jiwa dan tubuh39. Saat manusia mati tubuh itu memasuki proses menjadi tanah kembali (debu). Jelas, kematian membuat hidup manusia berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih tetap hidup, a shadow dalam Syeol40.
Paham immortalitas jiwa tidak dikenal dalam Alkitab. Manusia mengalami kematian bukan karena Tuhan, tetapi karena kemauan manusia sendiri yang hendak menjadi sama seperti Allah. Dosa utama ini yang membawa kematian dalam hidup manusia. Pandangan rohani yang dalam ini berasal dari konflik antara tradisi Yahwis berhadapan dengan konsepsi dunia Timur kuno. Manusia disebut sebagai gambar Allah (image of God), karena manusia memiliki hubungan khusus dengan Allah di mana manusia dipercaya menguasai alam semesta (Kej. 2:8-25). Di sini manusia hidup dalam ”keadaan tidak berdosa” sehingga mereka tidak malu saat keduanya telanjang41.
Manusia yang terdiri dari tubuh, roh dan jiwa disebut sebagai manusia seutuhnya; manusia sebagai suatu totalitas. Manusia yang utuh ini yang Allah ciptakan dan sekaligus diselamatkan Allah setelah jatuh dalam dosa. Keselamatan yang Allah berikan bukanlah keselamatan untuk jiwanya saja, tetapi keselamatan untuk tubuhnya juga. Manusia adalah suatu kesatuan dari tubuh dan jiwa42. Suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kalau manusia mati, ia mati seluruhnya sebagai tubuh dan jiwa. Itu yang dikatakan oleh Alkitab dan yang juga akan terjadi pada tiap-tiap manusia. Allah bersama-sama manusia dalam hidupnya dan Allah juga bersama-sama dengan manusia pada waktu manusia mati dan sesudah manusia mati43.
Jelas bahwa manusia mati sebagai manusia dalam totalitas dirinya. Ia mati sebagai diri yang rohani dan badani. Maka kematian badani adalah lambang yang tepat yang menjelaskan lebih mendalam bahwa maut adalah akibat dosa dan tidak terelakkan44. Bila dosa mengakibatkan kematian, maka Kristus telah diutus Allah untuk menghapuskan dosa manusia sehingga di dalam Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Dengan jalan itu, Allah memberikan kepada manusia kemungkinan baru untuk hidup sebagai partnerNya45.







Kesimpulan dan Refleksi

1. Kesimpulan
Pertama, Ajaran immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat (Plato), budaya (kepercayaan tradisionil suku Batak) dan ajaran agama (Islam/Kristen), termasuk teolognya (Yohanes Calvin dan R.C. Sproul).
Kedua, Ilmu pengetahuan kedokteran memahami manusia sebagai satu kesatuan tubuh, jiwa dan rohnya baik di saat hidup maupun mati.
Ketiga, Andarias Kabanga’ dengan argumentasi teologis yang kuat dan mendasar, berkeyakinan bahwa jiwa dan tubuh manusia adalah ciptaan Allah yang pada akhirnya mati seutuhnya. Hanya Refaimnya manusia yang tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan kembali.
Keempat, Alkitab tidak ada menyebut sama sekali dikotomi atau trikotomi tubuh, jiwa dan roh. Tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan yang utuh dan bersifat fana. Totalitas atau keutuhan manusia berlaku saat hidup, mati dan kebangkitannya dalam persekutuan dengan Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus.

2. Refleksi
Paham immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat, budaya dan ajaran agama, termasuk Kekristenan. Paham immortalitas jiwa, mengakibatkan cara memahami pesan Alkitab seperti Kejadian 1:27 ada dalam bingkai immortalitas jiwa. Saya secara pribadi menerima dengan keyakinan iman pandangan teologis Andarias Kabanga’ tentang keutuhan manusia baik dalam hidup maupun matinya. Immortalitas jiwa sebagaimana filsafat Plato, kepercayaan tradisionil suku Batak atau pandangan teologi Calvin dan Sproul tidak dapat saya terima karena membingungkan dan menyesatkan sebab manusia dipahami secara terpecah belah dimana jiwa/roh dinilai mulia dan tubuh dinilai jahat. Karenanya bagi saya yang berlatar belakang suku Batak, menjadi jelas mengapa orang Batak mengekspresikan dukacitanya secara mendalam sewaktu meratapi mendiang sebab berakarnya paham immortalitas jiwa..
Paham immortalitas jiwa tanpa disadari diterima dan menjadi pemahaman pribadi di kalangan warga jemaat karena pembacaan Alkitab secara harafiah tanpa mencari penjelasan lebih lengkap terlebih dahulu. Selain itu, khotbah para pendeta dan bacaan-bacaan kristen populer bukan tidak mungkin turut menyuburkan dan menguatkan pemahaman immortalitas jiwa di kalangan warga jemaat. Perkembangan terbaru dapat disaksikan dengan maraknya tayangan sinetron di televisi yang menggambarkan jiwa atau roh manusia yang mengganggu dan menuntut balas kematiannya terhadap mereka yang masih hidup. Saat terjadi musibah, jasa paranormal sebagai medium dalam berkomunikasi dengan jiwa-jiwa, telah dimanfaatkan untuk mencari para korban kecelakaan pesawat terbang atau kapal laut yang tenggelam. Pasti terjadi reaksi jika paham immortalitas jiwa hendak disebarluaskan di kalangan warga jemaat. Perlu sikap hati-hati dan bijak sehingga tidak terjadi gejolak hebat dikalangan warga jemaat. Pembinaan di kalangan pendeta dan Majelis Jemaat/Gereja harus diutamakan melalui materi-materi bina dan perangkat-perangkat Tata Gereja dan berlanjut kepada warga jemaat.
DAFTAR PUSTAKA



Abineno, J.L. Ch. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Arifin, H. Bey. Hidup Sesudah mati, Jakarta: Penerbit C.V. Kinta, 1994.
Berkhof, H. Christian Faith, An Introduction to The Study of The Faith, Michigan: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1979.
Berkhof, L. The History of Christian Doctrines, Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1975.
Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen, cet. Ke-2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Douglas, J.D. et.al., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II: M-Z, cet. ke-6, Terj. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2002.
Freedman, David N. (Ed), Eerdmans Dictionary of The Bible, Michigan:
Wm. Eerdmans Publishing Company, 2000.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Kabanga’, A. Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen, Pengantar: Prof (Em) Dr. Sularso Sopater, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.
Kittel, Gerhard & Friedrich, Gerhard. (Ed) Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: Wm Eerdmans Publishing Company, 1985), hlm. 312.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Terj. Conny Item-Corputy, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Leon-Dufour, Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Lumbantobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Niebuhr, Reinhold. The Nature and Destiny of Man, A Christian Interpretation, New York: Charles Scribners Sons, 1943.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al_Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. ke-19, Bandung: Penerbit Mizan.
Sproul, R.C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Terj. R. Tanudjaja, Malang: Departemen Literatur SAAT, 1998.
Sumartana, Th. (ed), Ecce Homo, Jakarta: Penerbit Aurora, 1994.
van Peursen, C.A. Tubuh-jiwa-roh, suatu pengantar dalam filsafat manusia,
Terj. K. Bertens, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Vriezen, Th. C. An Outline of Old Testament Theology, Oxford: Basil Blackwell 1958.

Tidak ada komentar: