Rabu, 21 November 2007

LEGALISME:
Kritik Fletcher dan relevansinya


Pendekatan etis dalam keputusan
Fletcher menyebutkan 3 pendekatan dalam pengambilan keputusan etis yaitu : legalisme, antinomianisme dan situasionisme1. Legalisme menurut
Fletcher memiliki pengertian sebagai berikut.
1. Legalisme menjadikan seseorang memiliki seperangkat aturan dan peraturan yang siap pakai. Kepentingan utamanya bagaimana yang tersurat dalam suatu produk hukum diikuti dan diberlakukan. Dalam setiap persoalan telah tersedia jawaban yang tepat tanpa perlu diragukan lagi keabsahannya.
2. Fletcher menilai bahwa Protestantisme dan Katolikisme telah menjadi agama legalistik sama seperti Yudaisme. Orang-orang Yahudi hidup dalam Taurat dan tradisi lisannya (halakah). Tafsiran dan aplikasi dari keduanya menghasilkan 613 (atau 621) peraturan yang harus ditaati tanpa terkecuali. Undang-undang dan perintah hukum bertumpuk-tumpuk, peraturan diatas peraturan dan membentuk piramida hukum: Pentateukh ke Midrash dan Mishna ke Talmud. Akibatnya kematian tragis bagi pathos (perhatian kasih Allah untuk berbagi) dan ethos (hidup dengan kasih sebagai norma, bukannya program kerja) yang disuarakan nabi-nabi. Pemahaman atas situasi merupakan kepekaan para nabi.
3. Orang Katolik mengembangkan sistem hukum moral yang disebut dengan kasuistri (daftar apa yang boleh dan tidak). Dengan kasuistri, seseorang dapat mengasihi sesamanya dengan benar. Sementara orang Protestan sekalipun tidak memiliki sistem hukum yang rumit, mereka menjadi orang-orang puritan dalam norma moral dan agama.
4. Legalisme telah buta dalam melihat faktor keraguan dan kebingungan yang dialami seseorang dalam hidupnya. Legalisme lebih mudah menghukum daripada menolong seseorang yang mengalami kesulitan dalam hidup. Orang-orang katolik dan Protestan bertanggungjawab terhadap kematian orang-orang homoseksual yang dibakar pada abad pertengahan. Orang legalis dapat memahami dan menerima jika keputusan hukum mendatangkan malapetaka atau tidak menunjukkan kasih, sebab bagi mereka ”Tegakkan hukum sekalipun langit akan runtuh!” (Fiat justitia, ruat caelum!).
5. Legalisme dalam kekristenan memuat dua bentuk. Moralis Katolik menekankan pertimbangan (akal) legalistik (legalistic reason) yang berdasarkan hukum kodrat. Mereka membayangkan peraturan etis yang dapat digunakan menghadapi kenyataan alam dan pengalaman sejarah. Serupa dengan itu, moralis Protestan menggunakan Alkitab sebagai hukum moralnya. Hukum moral alkitabiah yang didasarkan firman dan perkataan (words and sayings) Hukum dan Nabi, penginjil dan rasul. Moralis Protestan menekankan penyataan legalistik (legalistic revelation). Yang satu rasionalis, yang lain biblistik; yang satu alamiah (natural), yang lain alkitabiah (scriptural). Keduanya sama-sama legalistik. Selain itu dapat dikatakan bahwa moralis Katolik pun setuju dengan hukum yang diwahyukan (revealed law), seperti hukum positif ilahi 10 perintah Allah dan moralis Protestan mengunakan akal budi dalam menafsirkan perkataan-perkataan Alkitab (hermeneutik).

Legalisme: Ketaatan buta tanpa hati nurani
Fletcher menguraikan dengan taktis betapa legalisme tidak menolong manusia dalam mengambil keputusan etis yang tepat. Legalisme tidak menyediakan ruang yang berbeda bagi tindakan etis tertentu. Keseragaman bagi semua orang dalam bertindak diutamakan meskipun harus ada yang dikorbankan. Fletcher dengan negatif menilai orang Yahudi, Katolik dan Protestan telah menjadi pelaku legalisme. Fletcher sama sekali dan tidak sedikit pun memberikan penghargaan positif terhadap keberadaan dan fungsi hukum dan peraturan dalam kehidupan manusia. Banyaknya produk hukum dan peraturan serta ketidakmampuan dalam mempraktekkannya sudah jadi alasan kuat bagi Fletcher untuk menolak legalisme dalam pengambilan keputusan etis.
Saya tidak setuju dengan pendapat Fletcher bahwa Katolik dan Protestan mempraktekkan legalisme dalam kehidupan beriman sebagaimana agama Yahudi. Pendapat Fletcher terlalu subjektif karena tidak mempertimbangkan kenyataan kekristenan yang kuat ketika menjadi agama negara. Peraturan agama tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak didukung kekuasaan politik yang stabil.

Hukum: kepastian etis dan roh yang membebaskan
Hukum dan peraturan pada dirinya sendiri menurut saya sangat bermanfaat dalam mengatur dan menata segala bidang dan perkara dalam hidup manusia termasuk dalam kehidupan beragama. Hukum dan peraturan itu diperlukan untuk kelancaran hidup, misalnya hukum perkawinan; untuk keabsahan hidup bersama, misalnya hukum perkawinan; untuk menjaga dan melindungi kehidupan, misalnya Undang-undang Anti Aborsi. Hukum dan peraturan memberikan kepastian dan keamanan hidup sehingga seseorang ada dalam jalur hidup yang benar serta hidup dan perilakunya dihormati masyarakat. Hukum dan peraturan dapat memudahkan seseorang untuk bersikap dan bertindak di tengah kehidupan yang kompleks dan membingungkan2.
Orang beriman memandang hukum dan kewajiban moral yang universal berdasarkan karakter Allah yang tidak berubah. Allah adalah kudus dan perintah itu, benar dan baik (Rm 7:12). Ketaatan kepada hukum mendatangkan kebaikan sebagaimana yang Musa katakan kepada orang Israel ”agar berpegang pada perintah dan ketetapan Tuhan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu.” (Ulangan 10:13) Yesus sendiri menghormati kewibawaan hukum Allah seperti yang dikatakan, ”Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17) Yesus bahkan memberi pujian kepada mereka yang taat hukum, ”Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu ” (Matius 23:3). Jelas memelihara hukum dan perintah Allah adalah pengungkapan praktis dari kasih3. Hidup bebas dari tuntutan-tuntutan hukum berarti bertentangan dengan hubungan dengan Allah yang telah dibangun oleh anugerah. Orang beriman mengemari hukum Allah menurut manusia batinnya (Rm 7:22) dan taat kepada peraturan-peraturan pemerintah (Rm 13; 1 Ptr 2:13-14)).
Legalisme menjadi berbahaya ketika ketaatan kepada hukum terjadi secara harafiah, mutlak dan statis.4 Legalisme cenderung mengabaikan roh dari hukum agar dapat menghindari pelanggaran huruf di dalam hukum itu5. Yesus mengkritik tajam sikap legalisme, ”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Mrk 2:27) Yesus mengutamakan yang tersirat, tetapi tidak menyampingkan yang tersurat. Yesus menghendaki bahwa belas kasihan diutamakan ketimbang mencari kesalahan dan mengadili sesuai hukum yang berlaku6. Hukum, bagi Yesus bukanlah Tuhan. Ketaatan Yesus bukanlah kepada hukum sebagai instansi terakhir, tetapi kepada Tuhan sang Pemberi hukum, ”Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. (Mat. 12:8) Hukum tidak dapat dipraktekkan di segala waktu dan tempat secara ketat. Ada situasi khusus yang dialami manusia sehingga dapat diambil sikap khusus pula. Sikap khusus ini adalah kekecualian dan tidak berlaku umum, misalnya ”Barangsiapa yang menceraikan isterinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zina (Matius 19:9).7

Dilema moral: kekecualian sebagai alternatif etis
Dilema moral perlu dipertimbangkan secara khusus dan karenanya ada kekecualian. Atau meminjam istilah Karl Barth, suatu ”possible immpossibility”. Sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi dalam kenyataannya mungkin terjadi, misalnya peperangan, penyakit dan perceraian. Yang jelas adalah salah bila ”kekecualian” dianggap sebagai ”aturan umum” untuk diberlakukan dalam semua situasi dan tempat8.
Kekeliruan yang dipraktekkan orang Yahudi, Katolik dan Protestan di masa lampau berkenaan dengan hukum dan peraturan tidak dapat dipertahankan dan diteruskan pada masa sekarang. Memang legalisme di satu pihak mendatangkan kebaikan bagi manusia, namun di lain pihak dapat mencelakakan hidup manusia itu sendiri jika seluruh dimensi hidup manusia diatur sedemikian rinci seperti yang dipraktekkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, di mana ”Mereka mengikat beban-beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.” (Mat. 23:4)
Akibatnya, kepatuhan kepada hukum menggantikan kepatuhan manusia kepada Allah. Legalisme berakibat bahwa seseorang dapat mengganti Allah yang hidup dengan buku hukum yang tidak bernyawa. Implikasinya bahwa pengambilan keputusan etis menjadi proses penafsiran dan penerapan hukum saja dan bukannya cara mencari kehendak Allah. Legalisme mengabaikan pentingnya iman dan bimbingan Roh Kudus dalam pengambilan etis9. Legalisme hanya menghasilkan etika yang kaku dan sempit serta tidak menjawab masalah moral terdalam manusia dalam konteksnya.10 Di sinilah perlunya sikap kasih dan kepekaan kepada kebutuhan sesama dikembangkan sehingga pengambilan keputusan etis tidak cenderung menghakimi dan membelenggu kebebasan manusia.11



Salam etis,
SGR Sihombing

Catatan kaki.

1. Joseph Fletcher, Situation Ethics, The New Morality, (Philadelphia: The Westminster
Press, 1966), hlm. 18-22.
2. A. Mangunhardjana, Isme-isme: dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997),
hlm. 144-145.
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet. Ke-7, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002), hlm. 408.
4. C. Kiswara, Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.19-20.
5. Norman Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003), hlm 118.
6. J.J. de Heer, Injil Matius: Pasal 1-22, (Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001), hlm. 227
7. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), Hlm. 64-65
8. Eka Darmaputera, Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005), hlm. 179-180.
9. Harold H. Rowdon, Hukum Taurat dan Kasih, (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,
1992), hlm. 17.
10. Bernard T Adeney, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, (Illinois: InterVarsity Press, 1995), hlm 35.
11. Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, cet. ke-5, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 214-215.

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernard T, Strange Virtue: Ethics in a Multicultural World, Illinois: InterVarsity Press, 1995.
Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya, cet. ke-5, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Darmaputera, Eka. Etika Sederhana untuk Pemula: Perkenalan Pertama, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, Hlm. 64-65
Darmaputera, Eka. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan saja? Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.
Fletcher, Joseph, Situation Ethics, The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, A-L, terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet. Ke-7, Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002.
Geisler, Norman. Etika Kristen: Pilihan dan Isu, cet. ke-4, Malang Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003.
Heer, J.J. de, Injil Matius: Pasal 1-22, Jakarta BPK-Gunung Muria, 2001.
Mangunhardjana, A. Isme-isme: dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Kiswara, C. Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, cet. Ke-3, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Rowdon, Harold H. Hukum Taurat dan Kasih, Jakarta: Persekutuan Pembaca
Alkitab, 1992.

Tidak ada komentar: